Daftar Acara Televisi:
Liga Futsal Nusantara (bahasa Inggris: Nusantara Futsal League) merupakan kompetisi futsal kasta kedua Indonesia yang diselenggarakan oleh Federasi Futsal Indonesia (FFI). Kompetisi ini dimulai pada musim 2015 dan hingga saat ini sudah terselenggara sebanyak lima musim.
Klub yang mengikuti kompetisi ini wajib mendaftarkan pemain U-23 untuk kategori putra dan pemain U-21 untuk kategori putri.
Mas Karèbèt atau sering disebut Jaka/Joko Tingkir adalah seorang pendiri sekaligus sultan atau raja pertama dari kesultanan atau kerajaan Pajang yang memerintah dari tahun 1568-1582 dengan bergelar Sultan Adiwijaya atau Hadiwijaya. Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, Lahir pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal mangsa VIII menjelang subuh. Diberi nama "Mas Karebet" karena ketika dilahirkan, ayahnya Ki Kebo Kenanga dari Pengging Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dan dalangnya adalah Ki Ageng Tingkir. Namun suara wayang yang "kemebret" tertiup angin membuat bayi itu diberi nama "Mas Karebet". Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir) sejak saat itu masa remajanya lebih dikenal dengan nama "Jaka Tingkir".
Mas Karebet gemar bertapa, berlatih bela diri dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, tampan dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) ayahnya sendiri dan Muhammad Kabungsuan (Ki Ageng Pengging sepuh) kakek Adiwijaya. Ki Ageng Pengging Sepuh ini adalah anak bungsu dari Syeikh Jumadil Kubro, tapi jalur spiritualnya menuju ke Syeikh Siti Jenar. Selain ayah dan Kakek, ia juga belajar dengan kakek dari Ibu, yaitu Sunan Kalijaga. Ia juga juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Disamping tampan dan jagoan, sayangnya pemuda Jaka Tingkir alias Mas Karebet ini juga sedikit 'nakal' alias mata keranjang. Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang ayahnya). Dalam perguruan ini ada murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Jaka Tingkir adalah putera Kebo Kenanga dan cucu Adipati Andayaningrat. Manakala Adipati Andayaningrat juga di kenali dengan Syarief Muhammad Kebungsuan. Dari jalur ayah :
Joko Tingkir putra dari Ki Kebo Kenongo putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh (Andayaningrat/Jaka Sengara/Muhammad Kabungsuan) putra dari Syeikh Jumadil Kubro. (Jamaluddin Akbar al-Husaini)
ayahnya, Kebo Kenongo menikah dengan Nyai Ratu Mandoko putri dari Sunan Kalijaga dengan Syarifah Zaenab binti Syeikh Siti Jenar Sedangkan kakeknya, Andayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun putri dari prabu Brawijaya V raja Majapahit. Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Beberapa kejadian menarik mengikuti Jaka Tingkir, baik dalam perjalanan menuju Demak maupun pada saat mengabdi di Demak.
Para pujangga zaman dahulu mempunyai kebiasaan (atau semacam kode etik) berupa menghaluskan kisah atas suatu kejadian yang menyangkut raja atau istana yang kurang sepantasnya diceritakan dengan menggunakan kisah kiasan. Ada beberapa kisah kiasan yang mengikuti perjalanan hidup Jaka Tingkir alias Mas Karebet.
Dalam perjalanan ke Kerajaan Demak, zaman dahulu sebagai alat transportasi dipergunakan getek (rakit bambu) melalui sungai. Jaka Tingkir ditemani oleh teman seperguruannya Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Versi kisah kiasan dari pujangga, dikisahkan bahwa dalam perjalanan itu di Kedung Srengenge (kedung adalah bagian sungai yang dalam) Jaka Tinggir diserang oleh segerombolan buaya. Karena jagoan, Jaka Tingkir berhasil mengalahkan buaya-buaya tersebut dan sebagai tebusannya dalam melanjutkan ke Demak Jaka Tingkir dikawal oleh buaya-buaya di sebelah kiri, kanan depan dan belakang sebanyak masing-masing 40 ekor. Para pujanggapun menciptakan gending (lagu) atas kejadian tersebut yang terkenal hingga kini, yaitu lagu 'Sigra Milir'.
Kisah ini, menurut sebuah sumber disebutkan setelah beliau menikahkan putrinya dengan Panembahanan Lemah Dhuwur di Sumenep. Maka saat dia ingin kembali ke Pajang, dia mendapat mimpi (ada juga yg sebut diberikan wasiat oleh Sunan Prapen) bahwa tidak pantas jika dia akan kembali ke dalam jabatan di Kesultanan Pajang. Pasukannya sudah kalah oleh Sutawijaya, ia harus merelakan agar pajang dilanjutkan Arya Pangiri. Ini digambarkan dia seperti berada dalam perahu. Maka jika dia kembali ke air, habislah dia dimakan buaya. Maka akhirnya dia mendirikan padepokan di Pringgoboyo (Lamongan) sebelum akhirnya mengasingkan diri ke Sukowati. yaitu sampai wafatnya di Butuh, Sragen. Sesampainya di Demak, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir menarik simpati raja Demak Sultan Trenggana atas suatu kejadian. Di istana Demak terdapat sebuah kolam yang cukup besar. Pada suatu hari ketika Jaka Tingkir sedang berdiri di tepian kolam, tiba-tiba pamannya berteriak agar dia (Jaka Tingkir) segera menyingkir dari tempatnya, karena Sultan Trenggana segera lewat. Situasinya saat itu cukup sulit bagi orang biasa untuk menyingkir, karena tidak ada ruang buat menyingkir selain melompati kolam yang cukup lebar. Jaka Tingkir alias Mas Karebet yang terlatih dengan sigap dan mudah segera melompati kolam, agar tidak mengganggu jalannya Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sangat terkesan melihat kejadian tersebut, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Kejadian berikutnya versi kisah kiasan dari pujangga dikisahkan bahwa suatu hari Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Kejadian sesungguhnya atas versi kisah kiasan Dadungawuk adalah sebagai berikut. Alkisah Sultan Trenggana mempunyai seorang puteri cantik bernama puteri Cempaka. Bukan Jaka Tingkir kalau tidak mengetahui ini dan tidak dapat menaklukan hati sang puteri. Secara diam-diam Jaka Tingkir menjalin hubungan dengan puteri Cempaka. Namun tindakan tidak terpuji ini sempat ketahuan, sehingga Jaka Tingkir diusir dari Kerajaan Demak.
Kejadian berikutnya menurut versi kisah kiasan pujangga, diceritakan bahwa pada suatu hari Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau yang dinamakan sebagai Kebo Danu. Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu menaklukan si kerbau. Sultan Trenggana memerintahkan bala tentaranya untuk mencari Jaka Tingkir yang diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Jaka Tingkir diketemukan dan tampil menghadapi kerbau ngamuk. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama. Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan Kakak kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya.
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi. Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti. Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir. Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang. Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya. Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak sultan Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang meneruskan garis suksesi Kesultanan Demak dahulu. Putrinya yang bernama Glampok Raras menikah dengan Panembahan Ratu I dan menjadi permaisuri Cirebon.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (Sayyid Amir Khan, Pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi sultan. Pangeran Benawa sang putra mahkota saat itu disingkirkan namun masih diberi jabatan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun lalu menjadi sultan di Pajang dengan gelar Ngawantipura. Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Dendang Cinta Wulan merupakan sebuah sinetron bergenre drama musikal yang ditayangkan perdana di MNCTV pada tanggal 10 Januari 2018 hingga 22 Februari 2018. Sinetron terbaru ini merupakan sinetron garapan rumah produksi MNC Pictures. Sinetron ini dibintangi oleh Siti Badriah, Firdha Rizki, Rachman Yocob, Silvy Kitty, Wieke Widowati, Rangga Azof, Malvino Fajaro, Dina Sabun Colek, dan masih banyak lagi.
Ciung Wanara (aksara Sunda: ) adalah legenda di kalangan orang Sunda di Indonesia. Cerita rakyat ini menceritakan legenda Kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pemali serta menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di bagian barat provinsi Jawa Tengah. Cerita ini berasal dari tradisi cerita lisan Sunda yang disebut Pantun Sunda, yang kemudian dituliskan ke dalam buku yang ditulis oleh beberapa penulis Sunda, baik dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Dahulu berdirilah sebuah kerajaan besar di pulau Jawa yang disebut Kerajaan Galuh, ibu kotanya terletak di Galuh dekat Ciamis sekarang. Dipercaya bahwa pada saat itu kerajaan Galuh membentang dari Hujung Kulon, ujung Barat Jawa, sampai ke Hujung Galuh ("Ujung Galuh"), yang saat ini adalah muara dari Sungai Brantas di dekat Surabaya sekarang. Kerajaan ini diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah. Setelah memerintah dalam waktu yang lama Raja memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dan karena itu ia memanggil menteri Aria Kebonan ke istana. Selain itu, Aria Kebonan juga telah datang kepada raja untuk membawa laporan tentang kerajaan. Sementara ia menunggu di depan pendapa, ia melihat pelayan sibuk mondar-mandir, mengatur segalanya untuk raja. Menteri itu berpikir betapa senangnya akan menjadi raja. Setiap perintah dipatuhi, setiap keinginan terpenuhi. Karena itu ia pun ingin menjadi raja.
Saat ia sedang melamun di sana, raja memanggilnya.
"Aria Kebonan, apakah benar bahwa Engkau ingin menjadi raja?" Raja tahu itu karena ia diberkahi dengan kekuatan supranatural.
"Tidak, Yang Mulia, aku tidak akan bisa."
"Jangan berbohong, Aria Kebonan, aku tahu itu."
"Maaf, Yang Mulia, Saya baru saja memikirkannya." "Yah, Aku akan membuat engkau menjadi raja Selama Aku pergi untuk bermeditasi, Engkau akan menjadi raja dan memerintah dengan benar. Engkau tidak akan memperlakukan (tidur dengan) kedua istriku, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum sebagai istrimu."
"Baiklah, Yang Mulia."
"Aku akan mengubah penampilanmu menjadi seorang pria tampan. Nama Anda akan Prabu Barma Wijaya. Beritahulah pada orang-orang bahwa raja telah menjadi muda dan Aku sendiri akan pergi ke suatu tempat rahasia. Dengan demikian engkau akan menjadi raja!"
Pada saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu Permana di Kusumah itu, tetapi tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya pengumuman bahwa ia adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi sepuluh tahun lebih muda dan mengubah namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya satu orang tidak percaya ceritanya. Ia adalah Uwa Batara lengser yang mengetahui perjanjian antara raja dan menteri tersebut. Prabu Barma Wijaya menjadi bangga dan mempermalukan Uwa Batara lengser yang tidak dapat melakukan apa-apa. Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar. Keduanya menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah mereka istri Prabu Barma Wijaya. Suatu malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka. Mereka melaporkan hal itu kepada raja yang membuatnya ketakutan, karena mimpi tersebut biasanya peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini tidak mungkin karena ia tidak bersalah memperlakukan kedua ratu sebagai istri-istrinya. Uwa Batara lengser muncul dan mengusulkan untuk mengundang seorang pertapa baru, yang disebut Ajar Sukaresi - yang tidak lain adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah - untuk menjelaskan mimpi yang aneh tersebut. Prabu Barma Wijaya setuju, dan begitu pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja tentang arti mimpi itu.
"Kedua ratu mengharapkan seorang anak, Yang Mulia." Meskipun terkejut dengan jawabannya, Prabu Barma Wijaya masih bisa mengendalikan diri. Ingin tahu seberapa jauh pertapa berani berbohong kepada dia, dia mengajukan pertanyaan lain.
"Apakah mereka akan anak perempuan atau anak laki-laki?"
"Keduanya anak laki-laki, Yang Mulia." Pada hal ini raja tidak bisa lagi menahan diri, mengambil kerisnya dan menusuk
Ajar Sukaresi agar dia mati namun Dia gagal. Keris itu bengkok.
"Apakah Raja berkehendak aku mati? Bila begitu, saya akan mati." Kemudian pertapa itu jatuh. Raja menendang mayatnya begitu hebat sehingga terlempar ke dalam hutan di mana ia berubah menjadi seekor naga besar, yang disebut Nagawiru. Di keraton, sesuatu yang aneh terjadi. Kedua ratu memang hamil. Setelah beberapa waktu Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra yang bernama Hariang Banga.
Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi Naganingrum, secara ajaib janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir tersebut berbicara: "Barma Wijaya, Engkau telah melupakan banyak janjimu. Semakin banyak Anda melakukan hal-hal kejam, kekuasaan Anda akan semakin pendek.." Peristiwa aneh janin yang dapat berbicara tersebut membuat Raja sangat marah dan takut terhadap ancaman janin tersebut. Dia ingin menyingkirkan janin itu dan segera menemukan cara untuk melakukannya. Dia meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk dapat terlepas dari bayi Dewi Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan cocok untuk menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga, putra Dewi Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tetapi apa yang harus dilakukan? "Kita akan menukar bayi tersebut dengan anjing dan melemparkannya ke sungai Citanduy."
Sebelum melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk menutupi matanya dengan malam (lilin) yang biasanya digunakan untuk membatik. Dia berpendapat bahwa perlakuan ini adalah untuk menghindarkan ibu yang sedang melahirkan agar tidak melihat terlalu banyak darah yang mungkin dapat membuat dia pingsan. Naganingrum setuju dan Pangrenyep pun menutup mata Dewi Naganingrum dengan lilin, berpura-pura membantu ratu malang tersebut. Naganingrum tidak menyadari apa yang terjadi, bayi yang baru lahir itu dimasukkan ke dalam keranjang dan dilemparkan ke dalam Sungai Citanduy, setelah ditukar dengan bayi anjing yang dibaringkan di pangkuan sang ibu yang tidak curiga akan perbuatan jahat tersebut.
Ratu Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah menggendong seekor bayi anjing, ia sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana dengan mengatakan kebohongan kepada rakyat, tetapi tidak ada yang percaya kepada mereka. Bahkan Uwa Batara lengser tak dapat melakukan apa-apa karena Raja serta Ratu Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma Wijaya bahkan memerintahkan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anjing, yang dianggap sebagai kutukan dari para dewa dan aib bagi kerajaan. Uwa Batara lengser mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa ratu yang malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep bahwa ia telah melakukan perintah mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian Dewi Naganingrum yang berlumuran darah. Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah sepasang suami istri tua yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu di sungai untuk menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke sungai untuk mengambil ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat terkejut bukannya menemukan ikan melainkan keranjang yang tersangkut pada bubu tersebut. Setelah membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan. Mereka membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri.
Dengan berlalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang pemuda rupawan yang menemani berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka melihat seekor burung dan monyet.
"Burung dan monyet apakah itu, Ayah?"
"Burung itu disebut Ciung dan monyet itu adalah Wanara, anakku."
"Kalau begitu, panggillah aku Ciung Wanara." Orang tua itu menyetujui karena arti kedua kata tersebut cocok dengan karakter anak itu.
Suatu hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia berbeda dengan anak laki-laki lain dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat menghormatinya. Kemudian orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia telah terbawa arus sungai ke desat tersebut dalam sebuah keranjang danbukan anak dari desa tersebut.
"Orangtuamu pasti bangsawan dari Galuh."
"Kalau begitu, aku harus pergi ke sana untuk mencari orang tua kandungku, Ayah."
"Itu benar, tetapi kamu harus pergi dengan seorang teman. Di keranjang itu ada telur. Ambillah, pergilah ke hutan dan carilah unggas untuk menetaskan telur itu."
Ciung Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan seperti yang diperintahkan oleh sang orang tua, tetapi ia tidak dapat menemukan unggas. Ia menemukan Nagawiru yang baik, kepadanya ia meminta untuk menetaskan telur. Dia meletakkan telur di bawah naga itu dan tak lama setelah menetas, anak ayam tumbuh dengan cepat. Ciung Wanara memasukkannya ke dalam keranjang, meninggalkan orang tua dan istrinya dan memulai perjalanannya ke Galuh.
Di ibu kota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja dan rakyatnya menyukainya. Raja Barma Wijaya memiliki ayam jago yang besar dan tak terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia akan mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan ayam juaranya.
Saat tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi ayam petarung yang kuat. Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik keranjang, ia ikut ambil bagian dalam turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak pernah kalah. Kabar tentang anak muda yang ayam jantannya selalu menang di sabung ayam akhirnya mencapai telinga Prabu Barma Wijaya yang kemudian memerintahkan Uwa Batara lengser untuk menemukan pemuda itu. Orang tua itu segera menyadari bahwa pemuda pemilik ayam itu adalah putra Dewi Naganingrum yang telah lama hilang, terutama ketika Ciung Wanara menunjukkan padanya keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke sungai. Uwa Batara Lengser mengatakan pada Ciung Wanara bahwa raja telah memerintahkan hal tersebut selain menuduh ibunya telah melahirkan seekor anjing.
"Jika ayam kamu menang melawan ayam raja, mintalah saja kepadanya setengah dari kerajaan sebagai hadiah kemenangan kamu."
Keesokan paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu Barma Wijaya dan menceritakan apa yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju karena dia yakin akan kemenangan ayam jantannya yang disebut Si Jeling. Si Jeling sedikit lebih besar dari ayam jago Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara lebih kuat karena dierami oleh Naga Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini, ayam sang Raja kehilangan nyawanya dan raja terpaksa memenuhi janjinya untuk memberikan Ciung Wanara setengah dari kerajaannya. Ciung Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan membangun penjara besi yang dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung Wanara merencanakan siasat untuk menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep diundang oleh Ciung Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang baru dibangun. Ketika mereka berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci mereka di dalam. Dia kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang perbuatan jahat Barma dan Pangrenyep, orang-orang pun bersorak.
Namun, Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi sedih mengetahui tentang penangkapan ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan, mengumpulkan banyak tentara dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan Hariang Banga adalah pangeran yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela diri pencak silat. Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes. Pertempuran terus berlangsung tanpa ada yang menang. Tiba-tiba munculah Raja Prabu Permana Di Kusumah didampingi oleh Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Batara lengser.
"Hariang Banga dan Ciung Wanara!" kata Raja, "Hentikan pertempuran, ini adalah pamali ("tabu" atau "dilarang" dalam bahasa Sunda dan Jawa) - berperang melawan saudara sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur sungai Brebes, negara baru. Semoga sungai ini menjadi batas dan mengubah namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai pamali untuk mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali untuk memerangi saudara sendiri. Biarlah Dewi Pangrenyep dan Barma Wijaya yang dahulu adalah Aria Kebonan dipenjara karena dosa mereka." Sejak itu nama sungai ini dikenal sebagai Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti "Sungai Pamali".
Hariang Banga pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya yang setia menjadi nenek moyang orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang Sunda, sejak itu Galuh dan Jawa makmur lagi seperti pada zaman Prabu Permana Di Kusumah. Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan legenda ini dalam bentuk Pantun Sunda, sementara kakaknya menuju ke timur dengan melakukan hal yang sama, menyanyikan cerita bersejarah ini dalam bentuk tembang. Legenda ini adalah cerita rakyat Sunda untuk menjelaskan asal nama Sungai Pamali, serta untuk menjelaskan asal usul hubungan orang Sunda dengan orang Jawa; tentang dua bersaudara yang bersaing dan memerintah di pulau yang sama. Dari cerita ini jelas terlihat bahwa kerajaan Sunda (Kerajaan Galuh) lebih tua atau lebih awal berdiri dari kerajaan yang didirikan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal tersebut diperkuat dengan fakta sejarah bahwa kerajaan tertua di Jawa memang terletak di tatar Sunda, yaitu kerajaan Salakanagara. Namun jika menilik dari silsilah persaudaraan keduanya (Hariang Banga dengan Ciung Wanara) maka dapat disimpulkan bahwa orang Jawa ( Yang berasal dari Hariang Banga bersama pengikutnya) merupakan saudara yang lebih tua dari orang Sunda (Yang berasal dari Ciung Wanara bersama pengikutnya), dan orang Sunda menerima hal tersebut. Pahlawan nasional Indonesia dari Bali, I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan kecil yang dinamainya Pasukan Ciung Wanara di mana pasukan ini bertujuan untuk menghalau pengaruh Belanda di Bali untuk membentuk Negara Indonesia Timur setelah disetujuinya Perjanjian Linggarjati dan mengembalikan Bali dibawah kendali pemerintahan Indonesia. Pasukan Ciung Wanara yang jumlahnya tidak lebih dari 100 personil ini seluruhnya gugur dalam pertempuran Puputan Margarana melawan pasukan NICA Belanda di Tabanan pada November 1946. Sastra Sunda http://indonesianfolklore.blogspot.com